Pages

Jumat, Agustus 08, 2008

Sepenggal Kisah Luar Biasa dari Penduduk Ghaza


Suara dentuman dahsyat itu terjadi hampir setiap 10 menit. Ia panik luar biasa, berlari mencari tempat berlindung. Sementara ledakan demi ledakan yang memekakkan telinga dan menggetarkan jantung terus terjadi, ia justru melihat darah bersimbah tumpah di jalan-jalan. Rentetan bunyi senjata bersahutan di antara dentuman yang tak juga berhenti. Ia berusaha menenangkan diri, bahwa keadaan dirinya akan selamat, dan ia akan baik-baik saja. Do'a di antara ketakutan tak putus diucapkan, meminta kepada Allah Yang Mahakuasa, agar diselamatkan dari ancaman kematian yang sedang mengancam.

Itu sepintas kengerian yang terjadi di tanah Ghaza, Palestina. Peristiwa itulah yang dialami penduduk Muslim Ghaza saat melewati hari-hari pembantaian oleh pasukan Zionis Israel yang tanpa ampun menggempur mereka melalui udara dan darat. Ungkapan itu disampaikan oleh seorang pria bernama Abu Hani, salah seorang tim medis di Palestina yang kebetulan selamat dari lubang kematian di Ghaza ketika itu. Ia kemudian menuturkan banyak hal tentang pengalamannya yang sulit dilupakan, saat harus berada di antara dentuman roket dan suara peluru senjata. Abu Hani, adalah petugas medis, ia juga menjadi target pembunuhan keji pasukan Israel, seperti juga dialami rekan-rekannya sesama tim medis di Ghaza.

"Saya meminta kepada Allah agar Anda tidak pernah mengalami apa yang saya alami dalam penderitaan dan krisis seperti ini. Apa yang kami alami seperti tidak bisa diterima oleh akal. Tapi insya Allah krisis ini akan berakhir nantinya. Saya tidak ingin ada orang yang mengalami apa yang saya rasakan. Saya minta kepada Allah agar kalian tidak bersama kami. Kami akan menang di negeri ini dan juga di seluruh Negara umat Islam." Itu perkataan Abu Hani saat seorang wartawan mendekatinya dan berupaya mengutip kisahnya saat melewati fase operasi militer Israel yang tak berprikemanusiaan di Ghaza.

Abu Hani menceritakan kejadian dalam dua puluh empat jam yang sangat menegangkan itu. Ia bercerita, "Saya diminta untuk datang ke rumah saudara syahid Thal'at. Saya sampai di rumah itu, dan saya melihat jenazah Thal'at berada di atas atap rumah sejak ia gugur. Hampir seluruh tubuhnya berwarna merah darah yang sudah nyaris hampir kering. Jenazahnya memang hampir sulit diturunkan. Tak satu pun orang, termasuk keluarganya, berani menuruninya karena bisa saja hal itu memancing kedatangan pasukan udara Israel yang siap membombardir mereka kembali. Menurut sebagian keluarganya yang masih hidup, Thal'at sempat bertahan hidup selama sekitar 15 jam setelah ledakan roket menghancurkan rumah dan melempar tubuhnya ke atas.

Yang mengharukan adalah, saat jenazah Thal'at berhasil diturunkan. Orangtua Thal'at berkata, "Biarkan aku melakukan perpisahan dengan anakku." Orang-orang mengira ia akan menangis dan berteriak sedih saat mendekati putranya. Tapi ternyata tidak. Orangtua Thal'at justru mendekat dan memandang anaknya sambil mengatakan, "Aku titipkan engkau kepada Allah. Kita akan berjumpa di surga dengan izin Allah. Insya Allah, anakku, Allah akan memudahkanmu." Tak lama kemudian ibunda dari Thal'at juga datang dan mengatakan, "Anakku, engkau meminta surga. Insya Allah kita akan bertemu di sana. Allah akan memudahkanmu." Itulah sepenggal cerita tentang keluarga seorang pemuda Thal'at.

Abu Hani lebih lanjut bercerita tentang pemandangan yang begitu menyakitkan, "Saya menyaksikan lima orang anak-anak dari satu keluarga yang seluruhnya meninggal akibat roket Israel yang menghantam rumah mereka. Di antara anak-anak itu, ada yang terpotong tangannya, kakinya. Sebelum syahid menjemputnya, anak-anak itu bergumam, "Syahiid.. Syahiid.."." Hingga akhirnya mereka menghembuskan nafasnya yang terakhir di depan mata Abu Hani yang ingin mengobatinya.

Abu Hani juga bercerita tentang pengalamannya yang lain. Ia mengatakan, "Saya dipanggil untuk menolong anggota keluarga dari sebuah rumah milik Abu Jarhum. Saat saya memasuki rumah itu, ada empat orang anak perempuan kecil-kecil. Yang paling besar belum lebih dari lima tahun usianya. Mereka semua dalam kondisi luka parah. Saya membawa mereka semuanya ke rumah sakit. Alhamdulillah kini kondisi mereka sudah membaik." Abu Hani tampak berat mengungkapkan kepedihan ini dan mengatakan, "Apa yang akan Anda lakukan bila Anda melihat dua orang kakak beradik yang terkena roket saat sedang membuat roti. Saat meninggal, salah satu dari keduanya sedang dalam posisi ingin meletakkan tepung untuk dimasukkan ke dalam tungku."

Abu Hani terus melanjutkan kisah-kisahnya yang mendebarkan sekaligus seperti mengiris-iris hati dengan sembilu. Ia mengatakan, "Saya berangkat untuk menolong seorang perempuan. Awalnya, perempuan itu berdiri di dekat jendela. Tapi tiba-tiba sebuah roket jatuh dan menyebabkan kaki saudara laki-lakinya terputus. Sementara ia sendiri mengalami luka parah karena roket itu. Sebelum akhirnya meninggal, ia mungkin merasa saya ada di lokasi itu dan siap untuk menolongnya. Ia mengumpulkan segenap tenaganya yang tersisa dan berusaha memperbaiki kerudungnya yang agak tersingkap. Matanya, menatap lirih ke ibundanya yang juga mendampingi saya saat itu, seolah meminta agar auratnya tetap terjaga dan tidak terlihat olehku."

Abu Hani melanjutkan bagaimana aktifitasnya sebagai tenaga medis mendatangi berbagai perkampungan di Ghaza, termasuk Jabaliya. Di tempat itu, ia bertemu dengan seorang pemuda yang gugur, bernama Izzuddin. Pemuda itu semula sedang duduk beristirahat di bawah pohon saat roket Israel menghantamnya, hingga tubuhnya terbelah dua. Tapi saat menjelang meninggal, ia sempat mengangkat telunjuknya dan mengucapkan syahadat.

Kisah lainnya juga disampaikan Abu Hani saat ia membawa seorang pemuda bernama Muhammad ke rumah sakit. Tubuh Muhammad nyaris penuh oleh luka. Ada sekitar 50 luka sobekan parah di jasad Muhammad yang harus segera diobati. "Tak ada bagian tubuhnya yang bergerak kecuali jantungnya yang masih berdegup dan mulutnya yang terus menerus berdzikir kepada Allah. Para dokter yang ingin menolongnya sangat kagum dengan kondisi Muhammad. Tapi setelah dua jam dirawat, Muhammad tak tertolong lagi. Di penghujung nafasnya, ia melafadzkan dua kalimat syahadat dan membaca surat Al-Fatihah, lalu kemudian meninggal."

Ini sebagian kecil dari pemandangan luar biasa yang terjadi di Ghaza, saat Israel menghantam wilayah itu selama hampir satu pekan. Kecaman demi kecaman memang muncul dari sejumlah negara. Tapi lagi-lagi, tak satu pun yang kemudian bisa berbuat lebih banyak untuk menindak kekejaman Israel yang tak terperi itu. Allah SWT pasti menyertaimu, wahai penduduk Ghaza yang terdzalimi.

Palestine Information Centre

Sumber : www.kotasantri.com

4 komentar:

Jango mengatakan...

Israel adalah negri zionis, pemimpin dan tentaranya sadis dan bengis, terhadap ISLAM selalu sinis.
Pejuang palestina memang patriotis, harapan mereka takkan habis, maka tetaplah optimis, karena kelak yg Maha Kuasa kan membuat zionis itu menangis.

ella's yg manis, tulisanmu begitu islamis, hingga berat langkahkan betis, tuk tinggalkan blog sang gadis.

Anonim mengatakan...

Israel memang biadab! tp banyak yg sahid di palestina, smentara kematianku kelak, masih tanda tanya.
Wah tulisannya begitu Islami, I like it!
Lam kenal juga ma bung ngoceh.
Wassalam.

Susy Ella mengatakan...

mau confirm aja......ini bukan tulisan ella loh...ella ngambil dari www.kotasantri.com he he he ^_^

oya.....walau kita ga bisa ikut berjuang bersama mereka...masih banyak kok jalan untuk bisa membantu mereka...bahkan hanya dengan berdoa pun insyaAllah itu salah satu bentuk bantuan kita juga ^_^

Salam kenal semuanya.....

Blog Watcher mengatakan...

Perdamaian tak pernah diungkapkan dengan senapan, karena yang diungkapkan dengan senapan hanyalah teroris dan Zeonisme.

Sudah beberapa kali kilatan mentari dan redupan malam Israel menghujankan agresinya di wilayah Gaza. Tergambar jelas dalam layar syaraf ingatanku, betapa jelas dan terang 345 saudara-saudaraku tewas dan 1000 lainnya luka-luka.

Krisis kemanusiaan terpampang di sudut negeri Palestina.

Wahai saudara seimanku!!

Demi karena ini, mari serentak, kita acungkan jari tengah kita, dengan meneriakkan: "Fuck Israel!! Fuck Amerika!!" Sebagai simbol perlawanan kita. Kita buat maju langkah kita. Laksana prajurit yang harus taat pada titah hati, kita maju!! maju terus berjuang sampai memperoleh kemenangan.

"Fuck Israel!! Fuck Amerika!!"

madah perlawanan kami kepadamu, Bagi kami tidak mengenal pendirian lain, kecuali menang atau hancur.

sumber : www.asyiknyaduniakita.blogspot.com